Minggu, 12 Januari 2014

Keunikan Arsitektur Rumah Laweyan

Gaya Indische jadi ikon bangunan Kampoeng Batik
Kawasan Laweyan selama ini dikenal sebagai kawasan yang unik. Apa yang menjadi ciri khas kawasan Laweyan? Selain sebagai salah satu sentra industri batik, kawasan Laweyan juga terdapat rumah-rumah besar berarsitektur indah dengan tembok tinggi yang mengelilinginya.

Ternyata, di balik tembok-tembok tinggi dan rumah-rumah besar itu terdapat berbagai paduan seni arsitektur yang menjadikan bangunan-bangunan di Laweyan unik.

Dalam pengamatan M Muqoffa, dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, rumah-rumah di Laweyan, khususnya rumah yang dimiliki para juragan batik menunjukkan perpaduan arsitektur dari berbagai gaya asing.

”Memang booming industri batik di Laweyan di abad ke-19 dan awal abad ke-20 memberikan keuntungan ekonomi yang luar biasa buat para pelaku bisnis batik,” kata Muqoffa saat dijumpai Espos beberapa waktu lalu.
”Nah keadaan seperti ini menyebabkan masyarakat Laweyan itu punya posisi sosial ekonomi yang lebih baik. Itu menyebabkan mereka punya kemampuan membangun rumahnya sebagaimana keinginan,” terang alumnus UNS yang kini tengah menempuh studi doktoral bidang sejarah arsitektur di ITS Surabaya ini.

”Karena para juragan batik itu sudah mampu berdagang ke luar negeri terutama ke Eropa, mereka jadi punya wawasan mengenai arsitektur luar negeri. Wawasan itu lantas diterapkan untuk rumah-rumah mereka,” kata Muqoffa pula.

Hal ini terlihat dari penggunaan kaca patri, corak jendela, pintu dan hiasan-hiasan lainnya. ”Kalau dari kajian arsitektur bisa diterangkan bahwa rumah-rumah di sana itu punya langgam atau style art deco, Indische atau bahkan ada beberapa yang mengacu ke gaya-gaya klasik.”
Pendapat ini disepakati oleh pengusaha batik yang juga pegiat Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, Alpha Febela Priyatmono.
”Dengan penghasilannya yang luar biasa para pengusaha batik itu akhirnya punya keinginan menambah eksistensi dirinya antara lain dengan mengubah bangunan rumahnya,” katanya.

Upaya mempercantik bangunan rumah yang diistilahkan Alpha sebagai sebuah euforia ini paling banyak mengadopsi gaya Indische atau perpaduan gaya Eropa dan Jawa. ”Gaya Indische bisa dibilang menjadi ikon bangunan Laweyan,” tegas Alpha.

Motif geometris
Selain itu, lanjut Alpha, gaya arsitektur Islam juga banyak diadopsi di Laweyan. ”Contohnya seperti motif-motif geometris pada lantai. Ini karena orang-orang Laweyan juga sudah banyak yang ke Timur Tengah sehingga banyak ciri khas di sana yang diaplikasikan di sini,” katanya. Pengaruh China menurut Alpha juga bisa dijumpai.

Meski begitu, gaya arsitektur Jawa ternyata tidak ditinggalkan begitu saja. Konsep rumah Jawa yang terdiri atas bagian-bagian berupa pendapa, pringgitan, dalem, senthong dan sebagainya masih dipertahankan. ”Secara fisik bentuknya seolah-olah seperti bangunan yang bukan Jawa karena sudah mengadopsi gaya asing. Tapi secara konseptual itu masih bisa disebut sebagai bangunan Jawa,” tambah Muqoffa. Gebyog atau penyekat ruangan dari kayu yang biasanya dihiasi ukiran halus juga bisa dijumpai di banyak rumah.

Aktivitas industri batik juga mempengaruhi tata letak ruang rumah. ”Rumah Laweyan itu pasti punya bagian yang berfungsi sebagai tempat untuk proses produksi batik,” kata Muqoffa.

Ciri khas lain adalah tembok tinggi mirip benteng yang menyembunyikan pandangan ke dalam kompleks bangunan. Selain berfungsi sebagai pengaman dari adanya pelaku tindak kriminal, tembok ini juga mencegah orang-orang yang mungkin berniat mematai-matai atau mencuri desain eksklusif batik. Di sisi lain, terdapat pintu tembusan atau butulan yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lain. Bahkan Muqoffa dan Alpha menyebut butulan ini ada yang berupa jalan rahasia di bawah tanah. ”Pintu butulan ini tidak ditemukan di wilayah lain,” kata Muqoffa.

Adanya pintu penghubung ini menunjukkan kekerabatan di antara para penghuni kawasan Laweyan. Sementara menurut Alpha, keberadaan pintu rahasia bawah tanah dimanfaatkan saat masa perjuangan kemerdekaan. ”Kabarnya di masa itu pintu rahasia itu dipakai untuk menghindarkan diri dari operasi keamanan Pemerintah Belanda.”
Upaya konservasi perlu didukung aktivitas ekonomi
Kekayaan dan keunikan kawasan Laweyan seperti yang diwakili oleh arsitektur bangunan-bangunan yang ada di dalamnya jelas perlu dilestarikan.

Meski kawasan Laweyan sudah diakui sebagai kawasan warisan budaya atau heritage, bukan berarti status ini bisa secara otomatis melindungi kawasan itu dari gerusan peradaban modern.
Lihat saja, di sepanjang Jalan dr Radjiman sudah banyak bangunan-bangunan berarsitektur modern menggantikan kekekaran bangunan-bangunan kuno. Sejumlah bangunan kuno juga sudah tampak lapuk dan bahkan sudah roboh akibat gerusan usia dan ketiadaan tangan yang mampu merawat.

”Memang konservasi pada akhirnya akan jadi omong kosong jika masyarakatnya sendiri atau pemiliknya sendiri tidak punya kepedulian yang sama,” ujar dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, M Muqoffa.

”Jadi pemerintah boleh membuat infrastrukturnya, membuat pranatanya, undang-undangnya, aturan-aturan dan sebagainya, tapi sepanjang masyarakatnya juga tidak punya sense untuk nguri-uri maka itu akan menjadi sesuatu yang mubazir,” katanya.

Libatkan masyarakat
Di sisi lain, Muqoffa mengakui bahwa langkah-langkah pendukung konservasi yang saat ini sudah ditempuh di kawasan Laweyan patut disambut gembira karena sudah melibatkan masyarakat setempat. ”Industri batik yang sekarang kembali marak menambah keyakinan bahwa itu menjadi suatu modal besar atau kapital mereka untuk bisa melestarikan aset rumahnya juga,” katanya.

”Sekarang bayangin aja rumah dengan luas 2.000 meter persegi dengan kondisi seperti itu kan pajaknya mahal. Terus biaya perawatan juga. Kalau mereka tidak punya kegiatan ekonomi, gimana mereka akan melakukannya,” kata Muqoffa.
Dirinya mencontohkan pula sejumlah rumah yang akan dijual karena sudah tak ada lagi kegiatan ekonomi di tempat itu. ”Mereka tahu kalau ini benda langka secara arsitektural atau bahkan secara memori. Tapi enggak bisa apa-apa karena mereka memang dipaksa secara kondisi,” katanya. ”Dengan kegiatan ekonomi yang cukup baik, saya yakin mereka bisa bertahan. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah memfasilitasi atau mendukung,” tegasnya.

Muqoffa juga berharap pemerintah lebih aktif memberikan dukungan seperti melalui pemberian insentif pajak seperti yang sudah dipraktekkan di banyak negara. ”Kalau misalnya setahun harus bayar PBB Rp 2 juta, atau mungkin lebih, mungkin bisa diberikan potongan yang cukup signifikan asalkan si pemilik masih bisa atau mau memelihara rumah itu. Ini saya pikir rangsangan yang cukup menarik karena si pemilik juga punya perhatian atau kepedulian. Artinya permasalahan konservasi itu bukan terletak pada pemilik rumah itu sendiri tapi juga sama-sama,” tandas Muqoffa.

Sementara Alpha Febela Priyatmono, pegiat Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan juga mengakui pentingnya aktivitas ekonomi sebagai penunjang konservasi kawasan Kampoeng Batik Laweyan. ”Begitu ekonomi masyarakatnya stabil, sebenarnya konservasi akan lebih mudah dilaksanakan.”
Di kampoeng Batik Laweyan salah satu program yang sudah dirintis oleh komunitasnya adalah sektor perekonomian. ”Konservasi itu intinya salah satunya di ekonomi. Batik menjadi salah satu fokus pembenahan, salah satunya untuk menstabilkan ekonomi,” katanya.

Alpha menilai, upaya ini sekarang sudah mulai menimbulkan gairah baru di kalangan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan. ”Sekarang ini semua yang berhubungan dengan kekunoan menjadi daya jual yang menarik. Di masing-masing rumah mereka sudah mulai mengumpulkan artefak-artefak yang terkait dengan batik. Itu menunjukkan bahwa ini tahap awal untuk bisa menghargai kawasannya,” ungkap Alpha.

”Suatu kawasan itu berarti kalau bisa dilihat dan bisa diceritakan dengan bukti-bukti nyata untuk menunjang kisahnya. Nah, kita harapkan tiap rumah di Laweyan itu bisa punya semacam museum sendiri-sendiri,” paparnya.

0 komentar:

Posting Komentar